Heroisme
Abah saya hidup sampai 49. Jika kelak saya hidup sampai 50, saya anggap saya sudah melampauinya.
Saya mematri Abah saya sebagai martir. Di dalam kepala saya, ia syahid setelah menempa hidupnya untuk keluarga. Satu-satunya yang saya sesali, ia tidak banyak bicara.
Karena ia tidak banyak bicara, percakapan kami bisa dihitung dengan jari—ocehan saya saat kecil tidak masuk hitungan. Kami bicara seperlunya saja. Kadang soal sepak bola, lain kali soal kenaikan uang jajan.
Ketika hidupnya tuntas pada 49, saya bahkan belum menginjak SMA. Apa-apa saja soal kebaikan dan cerita hidupnya, saya ketahui kemudian dari Ibu dan teman-temannya.
Barangkali begitulah cara orang diam berbicara. Ia tidak banyak omong soal hidup, mati, musik, ataupun acara televisi. Tapi, tetap saja kelak saya bakal tahu bahwa ia mengoleksi beralbum-album The Beatles dan menikmati chemistry Cybill Shepherd dan Bruce Willis di Moonlighting.
Kelak saya juga tahu: Pada menit-menit terakhir hidupnya, ia tetap menggenggam tangan Ibu saya. Ia pergi begitu Ibu saya meyakinkannya bahwa “kami bakal baik-baik saja”.
Kami pada akhirnya memang baik-baik saja. Tapi, kita bicara soal “pada akhirnya”. Dan “pada akhirnya” juga berbicara soal malam-malam Ibu saya diam-diam menangis atau bagaimana saya memproses duka.
Saya tidak menangis pada hari pemakamannya. Bukan karena tidak sedih, tapi karena saya merasa ganjil. Sampai hari ini, saya masih ingat perasaan itu–dan masih tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata.
Sedari hari itu saya paham. Duka tidak bisa diganti dengan apa-apa. Tidak dengan ucapan, tidak dengan sekadar salaman. Ia selamanya tinggal seperti lubang yang menganga.
Lubang itu tak pernah saya tutup. Saya membiarkannya tetap menganga—dan hampir setiap hari saya menyapanya dalam diam. Saya tidak menangis hari itu, tapi suara yang bergetar tiap kali membicarakannya adalah sebuah keniscayaan di kemudian hari.
Ia tidak pernah tahu bahwa di mata saya kelak, Jakarta bakal kehilangan pesonanya. Bahwa kelak saya bakal jatuh cinta, patah hati, dan berkelahi di kampus cuma gara-gara perempuan.
Yang ia perlu tahu, musik-musiknya, caranya berpakaian, dan nada suaranya adalah penyelamat di dalam kepala saya. Bagaimana suaranya berubah dari tawa menjadi fatwa persis seperti David Corenswet mengubah nada dari Clark Kent menjadi Superman.
Yang perlu ia tahu adalah hidupnya telah mengantarkan saya hidup sampai hari ini.
Malam tadi, saya bermimpi kucing saya mengopek-ngopek luka saya. Sakit, tapi setidaknya saya tahu bahwa saya masih hidup.