Menolak Takdir
Takdir salah. Atau mungkin, aku hanya terlalu keras kepala untuk berlutut.
Aku rasa kita harus menolak untuk tunduk pada takdir.
Bukan karena kita sombong, tapi karena kita masih mencintai. Mencintai hidup, mencintai diri sendiri. Bukan karena kita percaya akan selalu menang, melainkan karena ada sesuatu di dalam diri kita (entah itu kehendak, jiwa, atau mungkin anak kecil yang dulu memandang lewat jendela mobil dan rumah—membayangkan dunia lain) yang masih menyala.
Takdir, seperti yang selalu kutahu, adalah kata yang lembut sekaligus berbahaya. Ia membenarkan hal-hal yang tak pernah kita coba ubah. Ia jadi cerita yang kita ceritakan ketika semuanya sudah terjadi, dan kita terpaksa berdamai dengan kegagalan. Dan keterpaksaan (untuk apa pun itu) adalah sesuatu yang amat kubenci.
Takdir adalah cerita yang diceritakan orang kepadamu setelah segalanya sudah terjadi. Sebuah penjelasan yang rapi untuk peristiwa-peristiwa yang berantakan. Kata yang romantis untuk kekalahan. Aku sudah sering melihat orang melemparkannya seperti bendera putih:
"Memang sudah jalannya."
"Memang begitulah hidup."
"Mungkin memang bukan jalan hidupku."
Tapi, bagaimana jika sebenarnya itu memang jalan hidup mereka? Bagaimana jika semua itu hanya terlalu sulit, terlalu terlambat, terlalu menyakitkan. Dan lalu takdir muncul sebagai alasan yang paling mudah dimaafkan?
Tapi kita bukan batu di sungai, hanyut ke mana pun arus membawa.
Kita adalah perenang. Kadang tenggelam—iya—tapi kadang juga muncul kembali ke permukaan, dengan paru-paru terbakar, dan kepalan tangan yang terangkat ke langit.
Ada sesuatu yang diam-diam radikal dalam memilih untuk tetap tinggal. Untuk menolak apa-apa yang selalu disodorkan hidup kepada kita. Untuk membangun. Untuk membenci. Untuk mencintai, lalu memaafkan diri sendiri.
Aku tidak ingin meromantisasi penderitaan. Ada hal-hal yang memang di luar kendali kita. Tapi terlalu sering, orang-orang menyerah bukan karena sesuatu itu mustahil, melainkan karena sulit. Atau lambat. Atau tidak pasti. Mereka menyebutnya takdir, lalu pergi. Dan hidup terus berjalan tanpa mereka.
Yang kutahu belakangan ini: Kadang hal paling berani yang bisa kau lakukan adalah tetap tinggal di hidup yang ingin kau bangun. Tetap berada di ruangan meski kau ketakutan. Tetap menulis meski lagu yang mau tak kunjung datang. Tetap berada di satu titik meski lari terasa lebih mudah.
Takdir akan selalu punya tempat duduk di meja hidupmu. Biarkan ia duduk. Biarkan ia berbisik pelan tentang kesimpulan-kesimpulannya yang dingin. Tapi, jangan biarkan ia berbicara atas namamu.
Tulis dirimu sendiri, meski tanganmu gemetar. Terutama sekali kalau tanganmu gemetar.
Jadi, inilah yang ingin kusampaikan kepadamu, siapa pun kamu, di mana pun kamu berada:
Jika hidup yang kau inginkan terasa jauh, teruslah berenang. Jika cinta yang kau mau atau butuhkan terasa mustahil, tetap ulurkan tanganmu. Jika dunia berkata “ini bukan tempatmu,” tolaklah untuk tunduk.
Takdir mungkin akan mengetuk pintu. Biarkan ia mengetuk. Tapi, jangan buka pintunya kecuali yang berdiri di baliknya adalah dirimu sendiri.
Malam kemarin, aku menyetir sendirian melewati Jalan Pancoran, jendela mobilku sedikit terbuka, angin lembab Jakarta menyerempet leher dan keningku. Sisa hujan masih memantul di aspal, membuat setiap lampu kota tampak seperti mimpi yang meleleh perlahan.
Jakarta malam kemarin lembut dan menyimpan banyak cerca. Tapi, selama aku terus menyetir, terus mengingat, terus membenci, terus mencintai, aku masih menolak takdir itu, satu kilometer dalam satu waktu yang sunyi.

