Ziarah
Hari itu, aku membawa persembahan untuk Akutagawa-san—sepotong kecil yokan. Ia berteman dengan rokok, air, dan keheningan yang tertinggal.
Saya datang ke makamnya hari itu. Sudah ada rokok filter, yang tak saya kenali mereknya, dan sebotol air yang tampak berkeringat meskipun berada di tempat teduh, jadi saya membawakan yokan untuk Akutagawa-san.
Yokan itu saya letakkan di depan batu nisan, membiarkan dua ekor semut (dan mungkin nanti beberapa temannya bakal datang) mengendus aroma manis dari pasta kacang merah, yang mungkin belum mereka kenali.
Angin pagi di Sugamo meniup rambut saya, dan matahari tampak ragu-ragu muncul dari balik awan yang tipis-tipis saja. Dua semut itu sudah mulai melakukan semacam upacara duka mereka.
Katanya, Akutagawa-san suka yokan. Saya membelinya dengan tergesa-gesa pada sebuah toko kecil di Shinjuku. Penjualnya bilang, cuma tinggal satu. Itu adalah persembahan untuk semua pertanyaan yang terlambat saya ajukan.
Tentu saja, Akutagawa-san tidak mengatakan apa-apa. Orang yang sudah meninggal memang tidak bisa bicara, ‘kan? Biar begitu, saya meyakini mereka adalah pendengar yang baik.
Ketika menuliskan ini semua pada catatan di ponsel, saya sempat merasa bahwa tidak seharusnya saya meromantisasi dia. Tapi, setidaknya saya merasa berutang sebuah kesunyian untuknya. Dan kesunyian selalu terasa lebih nyaring setelah mengudap sesuatu yang manis.
Hari-hari besok, saya akan membakar draf-draf di ponsel itu lagi—bukan karena amarah, tapi saya ingin melihat apa yang tersisa dari asapnya.
====
Aku tak akan mengenal duka jika bukan karena Akutagawa-san. Aku tak akan tahu cara memangkas kalimat seperti bonsai jika bukan karena kegilaannya. Dia mengajarkanku bahwa bahkan penderitaan pun bisa jadi indah jika kita memahatnya dengan baik. Bahwa kenangan bisa menjadi pisau atau cermin—tergantung bagaimana kau menggenggamnya.
Terima kasih telah menunjukkan ke mana jalan keluarnya. Aku berusaha sekali untuk tidak meniru jejak langkahmu—hanya akan mengikuti suaramu dalam gelap.